Bercerita tentang rumah
Belum pernah cerita panjang ya soal rumah kami yg sdh kami tempati kira2 5 bulan lamanya. Panjang bgt soalnya. Kenapa pending terus karena ga yakin kuat atau ngga bikin ceritanya yg penuh lika liku itu.
Sebelum menikah, saya tinggal di balikpapan, ngontrak paviliun, sedangkan (kala itu) calon suami ngekost di rumah oomnya di jakarta. Kira2 2 bulan setelah menikah dan saya pindah ke jakarta,kami tinggal selama sebulan di apartemen fasilitas kantor, sambil bersiap2 mencari tempat tinggal selanjutnya.
Untuk orang2 yg mengenal saya dgn baik, pasti tahu lah betapa saya sangat keukeuh dengan kemandirian. Hmm, ini ada hubungannya dengan kebiasaan keluarga dan adat istiadat sebenarnya. Keluarga saya sangat menjunjung tinggi asas kemandirian yang artinya, kalau bisa dikerjakan sendiri, jangan sampai nyusahin orang lain. Keluarga suami prinsipnya lain lagi, kalo bisa “manfaatin” keluarga ya manfaatin lah, ini artinya vice versa ya, harus siap di”manfaatin” kalo keluarga lain sedang butuh bantuan kita. Contoh paling jelas ya suami saya ini yang ngekost sama oomnya, entah bayar berapa per bulan, mungkin urunan bayar pembantu doang. Kalau saya dia, pastinya saya pilih ngekost di tempat lain yg saya afford demi k-e-m-a-n-d-i-r-i-a-n.
Jadi, saat ada tawaran untuk menempati rumah keluarga suami (rumah transit to be exact), my first word was no. Walaupun cuma kami yang ninggalin, tetep jiwa celibataire saya bilang ngga. Sampai suami bilang, do it for me. My kind hearted husband wanted to take care of his parents house while searching our own house. I melted and agreed with his proposition. Setelah menikah gini, kadang kalo kita udah gontok2an banget, saat2 mengalah dan nurut sama suami bisa jadi momen yg istimewa buat saya. Dasar emang saya orangnya keras kali ya.
Jadi pindahlah kami ke rumah keluarga suami di kawasan pasarminggu. Rumah ini besar, tapi kurang terawat. Banyak barang2 yang ga jelas punya siapa. Kami dan para pembantu pun bingung mau mulai beresin dari mana karena takut salah juga kalo kita buang atau pindah2in. Lalu ventilasinya kurang baik, ga ada halaman. Hanya mengandalkan cahaya dan udara masuk dari bagian depan rumah. Beberapa “perbaikan” yang kami lakukan adalah bagaimana membuat rumah ini lebih nyaman untuk kami tempati sambil kami mencari rumah untuk kami sendiri. Ga mudah pastinya ya, karena budget kami juga terbatas, gak bisa rombak total, though we wish we could.
Di tempat ini pula saya hamil dan kemudian membesarkan pilar hingga usianya 18 bulan. Kami pernah dibantu oleh 4 asisten selama 1 ½ tahun. Ga usah diceritain lah ya dramanya, saya bisa senewen sendiri. Pengasuh pilar juga sempat sekali berganti. Sambil menata manajemen keluarga kecil ini, secara paralel kami memulai pencarían rumah kami sendiri.
Beberapa weekend kami habiskan untuk hunting rumah yang masuk kriteria ideal untuk kami: luasannya, modelnya, aksesnya, dan pastinya harga. Dengan budget yang kami punya, yang paling gampang memang mencari di daerah suburban: cibubur, bintaro, serpong, bekasi. Tinggal merem bisa dapet rumah dengan luasan cukup. Tapi, bagaimana dgn transportasi? Bagaimana dengan fasilitas pendidikan untuk anak? Bukan hanya jangka pendek ya, tapi kalo rumah di serpong dan anak smp atau smanya di tengah jakarta kan kasian anaknya. Jadi pemilihan lokasi pun mulai mengerucut ke bagian selatan jakarta, selain udara yg masih adem,kualitas air tanah yg masih bagus menjadi pertimbangan kami. Udah survey2 ke daerah jagakarsa, kebagusan dan sekitarnya tapi ga nemu yg sreg di hati. Di tengah kebingungan yg melanda (#lebay), kami melihat iklan kompas mini yang menawarkan tanah dengan luasan kecil/sedang di kawasan pejaten/jatipadang. Harganya tergolong mahal, namun dengan luasan yg kecil/sedang dan kami hitung2 dengan harga bangun rumah per m2 pada saat itu, insya Allah masih masuk budget. Disinilah trickynya kalo beli rumah jadi. Para developer2 itu bisa claim harga yg mahal sekali untuk bangunannya. Yah, emang mereka ngambil marginnya di situ sih. Mulailah proses pembelian dimulai. Ga simpel sama sekali karena tanah itu adalah tanah pecahan dari satu tanah besar milik sebuah keluarga, hanya 2 kavling yg akan dijual dan sisanya akan mereka bangun sendiri untuk anak2 mereka. Kami berminat dengan kavling yg paling kecil, dan saat kami bercerita tentang proses pembelian ini, orangtua kami pun berminat untuk membeli kavling yang nempel dengan kami.
Saking ribetnya, proses pembelian, akta jual beli, urusan dengan pertanahan sampai akhirnya sertifikat terbit, makan waktu hampir setahun lho. Dont ask me, it’s all that complicated. Ditambah masalah dengan pihak penjual yanng sangat tidak kooperatif. Ini baru urusan beli tanahnya, secara paralel kompleksitas bangun rumah juga ga kalah bikin puyeng. Pencarían arsitek, kontraktor, ngurus IMB (this is hell), sampai proses bangun, finishing dan ngisi perabotan rumah pun berjalan dengan drama kanan kiri. Bisa dibilang proses2 ini membangun mental kami. Saya yang waktu itu baru melahirkan, dipaksa untuk menguras pikiran dan emosi saat urusan IMB (yg seharusnya scope pekerjaan penjual tanah) dgn paksa dialihkan ke kami. Kalo diinget2 masih nyess rasanya.
Ada yang bikin seneng pastinya, perasaan akan punya dan menempati rumah baru pasti sangat menyenangkan untuk semua orang ya. Termasuk kami.
Denah yang diusulkan arsitek sempet dirombak beberapa kali. Misalnya karena kami akhirnya memutuskan untuk punya 1 kamar di bawah utk mengakomodasi orang tua yang sepuh dan ga bisa naik tangga. Tambahan 1 lagi kamar asisten karena most likely kami akan punya asisten pria untuk urusan kebun dan jaga rumah. Tambahan dapur kotor di belakang biar dapur tengah bisa tetep kinclong dan dipake kalo sang ratu turun gunung seminggu sekali. Hahaha. Yang gini2 sih seru pastinya.
Belum lagi tiba2 budget harus naik karena di tengah jalan kami memutuskan untuk menaikkan spek dari material tertentu. Atau si ratu survey yg siap mantengin sale kran, sink, shower, dll biar dapet barang eropa tapi harga jepang :D kasak kusuk cari toko elektronik yg harganya bisa 20-30% lebih murah dari harga mal. semua effort insya Allah sudah dilakukan agar rumah impian kami dapat terwujud…tepat waktu?
Tidak juga. Sebenarnya rumah kami sudah siap huni kira2 bulan april tahun 2010 (mulai dibangun bulan juli-agustus 2009). Tapi karena lingkungan sekitar masih belum siap (belum ada jalan, listrik, dll) kami memutuskan untuk pindah di bulan september, seminggu sebelum idul Fitri. Dengan formasi asisten yang lebih lengkap agar kami bisa lebih tenang menempati rumah baru kami. Pengajian dan syukuran kecil2an dilakukan degan masyarakat sekitar, mengundang sesepuh di daerah tersebut. Sempat ada cerita angker lho di rumah ini, tapi alhamdulillah kami tidak pernah “diganggu”. Insya Allah begitu seterusnya, toh niat kami menempati rumah ini baik ko.
Sekarang kami bisa tersenyum. Effort kami di akhir berbuah manis. Ditambah pasukan asisten yang kompak dan insya Allah kerasan membantu kami di rumah. Alhamdulillah ya Allah. Semoga Kau berkahi rumah kami, Kau lindungi kami dari gangguan dan ancaman apapun, Kau karuniai kami rezeki yang halal, Kau jaga tingkah laku kami agar kami senantiasa berjalan di jalanMu, selalu. Amin YRA.
PS: drama selanjutnya adalah bagaimana kami harus menata ulang keuangan keluarga, setelah jatuh bangun oleh biaya bangun dan ngisi rumah :)
Sebelum menikah, saya tinggal di balikpapan, ngontrak paviliun, sedangkan (kala itu) calon suami ngekost di rumah oomnya di jakarta. Kira2 2 bulan setelah menikah dan saya pindah ke jakarta,kami tinggal selama sebulan di apartemen fasilitas kantor, sambil bersiap2 mencari tempat tinggal selanjutnya.
Untuk orang2 yg mengenal saya dgn baik, pasti tahu lah betapa saya sangat keukeuh dengan kemandirian. Hmm, ini ada hubungannya dengan kebiasaan keluarga dan adat istiadat sebenarnya. Keluarga saya sangat menjunjung tinggi asas kemandirian yang artinya, kalau bisa dikerjakan sendiri, jangan sampai nyusahin orang lain. Keluarga suami prinsipnya lain lagi, kalo bisa “manfaatin” keluarga ya manfaatin lah, ini artinya vice versa ya, harus siap di”manfaatin” kalo keluarga lain sedang butuh bantuan kita. Contoh paling jelas ya suami saya ini yang ngekost sama oomnya, entah bayar berapa per bulan, mungkin urunan bayar pembantu doang. Kalau saya dia, pastinya saya pilih ngekost di tempat lain yg saya afford demi k-e-m-a-n-d-i-r-i-a-n.
Jadi, saat ada tawaran untuk menempati rumah keluarga suami (rumah transit to be exact), my first word was no. Walaupun cuma kami yang ninggalin, tetep jiwa celibataire saya bilang ngga. Sampai suami bilang, do it for me. My kind hearted husband wanted to take care of his parents house while searching our own house. I melted and agreed with his proposition. Setelah menikah gini, kadang kalo kita udah gontok2an banget, saat2 mengalah dan nurut sama suami bisa jadi momen yg istimewa buat saya. Dasar emang saya orangnya keras kali ya.
Jadi pindahlah kami ke rumah keluarga suami di kawasan pasarminggu. Rumah ini besar, tapi kurang terawat. Banyak barang2 yang ga jelas punya siapa. Kami dan para pembantu pun bingung mau mulai beresin dari mana karena takut salah juga kalo kita buang atau pindah2in. Lalu ventilasinya kurang baik, ga ada halaman. Hanya mengandalkan cahaya dan udara masuk dari bagian depan rumah. Beberapa “perbaikan” yang kami lakukan adalah bagaimana membuat rumah ini lebih nyaman untuk kami tempati sambil kami mencari rumah untuk kami sendiri. Ga mudah pastinya ya, karena budget kami juga terbatas, gak bisa rombak total, though we wish we could.
Di tempat ini pula saya hamil dan kemudian membesarkan pilar hingga usianya 18 bulan. Kami pernah dibantu oleh 4 asisten selama 1 ½ tahun. Ga usah diceritain lah ya dramanya, saya bisa senewen sendiri. Pengasuh pilar juga sempat sekali berganti. Sambil menata manajemen keluarga kecil ini, secara paralel kami memulai pencarían rumah kami sendiri.
Beberapa weekend kami habiskan untuk hunting rumah yang masuk kriteria ideal untuk kami: luasannya, modelnya, aksesnya, dan pastinya harga. Dengan budget yang kami punya, yang paling gampang memang mencari di daerah suburban: cibubur, bintaro, serpong, bekasi. Tinggal merem bisa dapet rumah dengan luasan cukup. Tapi, bagaimana dgn transportasi? Bagaimana dengan fasilitas pendidikan untuk anak? Bukan hanya jangka pendek ya, tapi kalo rumah di serpong dan anak smp atau smanya di tengah jakarta kan kasian anaknya. Jadi pemilihan lokasi pun mulai mengerucut ke bagian selatan jakarta, selain udara yg masih adem,kualitas air tanah yg masih bagus menjadi pertimbangan kami. Udah survey2 ke daerah jagakarsa, kebagusan dan sekitarnya tapi ga nemu yg sreg di hati. Di tengah kebingungan yg melanda (#lebay), kami melihat iklan kompas mini yang menawarkan tanah dengan luasan kecil/sedang di kawasan pejaten/jatipadang. Harganya tergolong mahal, namun dengan luasan yg kecil/sedang dan kami hitung2 dengan harga bangun rumah per m2 pada saat itu, insya Allah masih masuk budget. Disinilah trickynya kalo beli rumah jadi. Para developer2 itu bisa claim harga yg mahal sekali untuk bangunannya. Yah, emang mereka ngambil marginnya di situ sih. Mulailah proses pembelian dimulai. Ga simpel sama sekali karena tanah itu adalah tanah pecahan dari satu tanah besar milik sebuah keluarga, hanya 2 kavling yg akan dijual dan sisanya akan mereka bangun sendiri untuk anak2 mereka. Kami berminat dengan kavling yg paling kecil, dan saat kami bercerita tentang proses pembelian ini, orangtua kami pun berminat untuk membeli kavling yang nempel dengan kami.
Saking ribetnya, proses pembelian, akta jual beli, urusan dengan pertanahan sampai akhirnya sertifikat terbit, makan waktu hampir setahun lho. Dont ask me, it’s all that complicated. Ditambah masalah dengan pihak penjual yanng sangat tidak kooperatif. Ini baru urusan beli tanahnya, secara paralel kompleksitas bangun rumah juga ga kalah bikin puyeng. Pencarían arsitek, kontraktor, ngurus IMB (this is hell), sampai proses bangun, finishing dan ngisi perabotan rumah pun berjalan dengan drama kanan kiri. Bisa dibilang proses2 ini membangun mental kami. Saya yang waktu itu baru melahirkan, dipaksa untuk menguras pikiran dan emosi saat urusan IMB (yg seharusnya scope pekerjaan penjual tanah) dgn paksa dialihkan ke kami. Kalo diinget2 masih nyess rasanya.
Ada yang bikin seneng pastinya, perasaan akan punya dan menempati rumah baru pasti sangat menyenangkan untuk semua orang ya. Termasuk kami.
Denah yang diusulkan arsitek sempet dirombak beberapa kali. Misalnya karena kami akhirnya memutuskan untuk punya 1 kamar di bawah utk mengakomodasi orang tua yang sepuh dan ga bisa naik tangga. Tambahan 1 lagi kamar asisten karena most likely kami akan punya asisten pria untuk urusan kebun dan jaga rumah. Tambahan dapur kotor di belakang biar dapur tengah bisa tetep kinclong dan dipake kalo sang ratu turun gunung seminggu sekali. Hahaha. Yang gini2 sih seru pastinya.
Belum lagi tiba2 budget harus naik karena di tengah jalan kami memutuskan untuk menaikkan spek dari material tertentu. Atau si ratu survey yg siap mantengin sale kran, sink, shower, dll biar dapet barang eropa tapi harga jepang :D kasak kusuk cari toko elektronik yg harganya bisa 20-30% lebih murah dari harga mal. semua effort insya Allah sudah dilakukan agar rumah impian kami dapat terwujud…tepat waktu?
Tidak juga. Sebenarnya rumah kami sudah siap huni kira2 bulan april tahun 2010 (mulai dibangun bulan juli-agustus 2009). Tapi karena lingkungan sekitar masih belum siap (belum ada jalan, listrik, dll) kami memutuskan untuk pindah di bulan september, seminggu sebelum idul Fitri. Dengan formasi asisten yang lebih lengkap agar kami bisa lebih tenang menempati rumah baru kami. Pengajian dan syukuran kecil2an dilakukan degan masyarakat sekitar, mengundang sesepuh di daerah tersebut. Sempat ada cerita angker lho di rumah ini, tapi alhamdulillah kami tidak pernah “diganggu”. Insya Allah begitu seterusnya, toh niat kami menempati rumah ini baik ko.
Sekarang kami bisa tersenyum. Effort kami di akhir berbuah manis. Ditambah pasukan asisten yang kompak dan insya Allah kerasan membantu kami di rumah. Alhamdulillah ya Allah. Semoga Kau berkahi rumah kami, Kau lindungi kami dari gangguan dan ancaman apapun, Kau karuniai kami rezeki yang halal, Kau jaga tingkah laku kami agar kami senantiasa berjalan di jalanMu, selalu. Amin YRA.
PS: drama selanjutnya adalah bagaimana kami harus menata ulang keuangan keluarga, setelah jatuh bangun oleh biaya bangun dan ngisi rumah :)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home